MENGASAH KETERAMPILAN
Oleh: Fahrur Mu'is
Baru-baru ini ada teman yang mengeluh. Seiring dengan rutinitas megedit setiap hari, katanya, ilmu dan kemampuannya tidak bertambah. Bahkan, imbuhnya, cenderung menurun. Mengapa? Bukankah banyak jam terbang berarti tambah keterampilan? Bukankah banyak pengalaman berarti tambah keahlian?
Sejenak saya merenung. Mencari, kira-kira apa jawabannya. Dan benar, hal itu juga saya rasakan. Ketika saya terjebak dalam sebuah rutinitas terpola, seperti mengedit, menerjemah, dan menulis yang tiada henti, ternyata saya tidak semakin produktif. Saya tidak tahu, entah ini hanya terjadi pada saya, entah juga pada Anda.
Berkaitan dengan hal ini, saya teringat ketika belajar menjadi tukang kayu 20 tahun yang lalu. Waktu itu, kakek menyuruh saya menggergaji kayu. Pada awal-awal waktu, saya mampu menggergaji dengan cepat. Namun, tidak demikian dengan waktu-waktu selanjutnya. Meskipun saya menggergaji dengan tenaga dan alat yang sama, ternyata waktunya semakin lama. Setelah diselisik, ternyata hal itu disebabkan oleh gergaji yang kian lama kian tumpul. Akhirnya, hasilnya pun tidak maksimal.
Dari situ, saya tersadar bahwa keterampilan manusia juga perlu diasah. Tanpa pengasahan, keterampilan akan stagnan. Tak bertambah, tapi malah mungkin berkurang. Banyak menulis bukan jaminan tulisan akan lebih bagus dan berkualitas. Pun demikian, banyak menerbitkan buku bukan jaminan buku selanjutnya tambah bermutu. Tergantung apakah ada pengasahan keterampilan dan penambahan ilmu atau tidak. Jika tidak, boleh jadi buku yang dihasilkan akan menurun. Baik pilihan tema yang tidak kuat maupun hasil editing yang monoton. Ringkasnya, tidak semakin lebih baik.
Inilah tantangan bagi para perajin buku. Dan bagaimana konkretnya? Silakan semua berkreasi. Tidak selalu dengan membaca. Tidak mesti dengan pelatihan, dan tidak harus dengan dialog. Lalu, dengan apa? Apakah dengan ilmu kebatinan alias dibatin saja? Tentu tidak, cara tersebut bisa digunakan, hanya saja saya tidak membatasi.
No comments:
Post a Comment