Total Pageviews
Search This Blog
Wednesday, June 25, 2008
KESAN PERTAMA MENULIS BUKU
Jujur saja, sebelum buku pertama saya diterbitkan, saya sudah membaca banyak buku tentang kepenulisan. Tak hanya itu, sekeranjang tips menulis buku bestseller pun telah selesai saya baca. Ditambah lagi, pengalaman selama 2 tahun bekerja di penerbitan sudah pasti menambah ke-pede-an saya.
Singkat kata, buku saku Bahagia Saat Sakit, berhasil saya selesaikan dalam tempo kurang lebih satu bulan. Dan setelah dicetak 4000-an eksempar, banyak respon berdatangan. Inilah sebagian respon yang berhasil saya dokumentasikan:
"Ass aq lg baca bukumu nih yang berjudul bahagia saat sakit. Buku kamu lumayan, jadi sedikit support bua aq saat ini. Tapi…kadang kumerasa lelah dengan semua cobaan ini.” (081 335 xxx xxx)
“Ass, namaku uswah, rumahku di Kendal, aku dah baca karya anda, yang berjdul bss, aku cuma mau ucapin teruslah berkarya untk kemaslahatan umat, wass.”
“Alhamdulillah saya merasa terbantu ketika saya dapat tugas kultum dengan buku karya akhi BSS.”
“Slamat malam, aqu dodo anak smp n 1 , pak saya br saja membeli buku karya anda yang berjudul BSS, saya mau tanya rahasianya apa?”
“Saya salut dengan buku bss. TERIMAKSIH ATAS BUKU YANG TELAH MEMBUAT SI SAKIT TEGAR DAN OPTIMIS. SELAMAT.” (Rahmat, Pekanbaru)
“Ustadz fahrur, saya uwitri siswa sma kelas 2. saya cm mo bilang buku bss bagus sekali.”
“As. Akhi syukran jazilan ya, setelah an baca buku BSS, alhamdulillah lebih semangat menjalani hidup. Ana berfikir kalo hati sudah sakit, kenapa raga ini harus sakit. oh ya saya tunggu karya antum berikutnya.” (Bahjah Marhyah, Cilegon).
“Setelah Qbaca BSS, ternyata meskipun kecil tapi isinya bagus banget. Kusuka karena isinya dipadukan antara pengobatan secara alami dan disertai doa-doa. Jadi siapa yang mengamalkan sungguh berjalan kedua-duanya.” (Alfaqiroh A'in Al-Jamboni).
Inilah kesan mendalam dalam hati saya yang disemaikan oleh para pembaca. Semoga ini adalah kabar gembira yang tidak membuat saya terlena untuk menelorkan karya-karya berikutnya.
Thursday, June 19, 2008
BUKU YANG ENAK DIBACA DAN BERGIZI
Menerbitkan sebuah buku bukanlah pekerjaan main-main. Sesuka dan sesenang hati. Apalagi asal-asalan. Ia adalah aktivitas serius yang menghajatkan curahan tenaga, kreativitas, ketrampilan, pikiran, dan dana. Ia tak sekadar menyusun kata-kata untuk kemudian ditata dan dijual.
Menerbitkan buku, setidaknya melibatkan beberapa hal. Misalnya, visi, misi, bisnis plan, pilihan cita rasa buku. Tulisan ini bermaksud ikut andil dalam menghasilkan buku yang enak dibaca dan bergizi.
Buku yang enak dibaca dan nikmat dirasa, setidaknya harus memenuhi beberapa unsur. Di antaranya ialah mudah dipahami, masuk akal, taat asas, dan tepat dalam pilihan kata. Ibarat sebuah masakan, buku juga menghajatkan bumbu yang sesuai dengan resep makanan yang dikehendaki. Nah, enak dibaca berarti memerhatikan masalah bumbu ini.
Buku yang bergizi ialah buku yang di dalamnya mengandung kebenaran. Si penulis meyakini dan mengamalkan apa yang ia tulis. Bahkan, ia menjadi orang pertama yang mempraktikkan kebenaran yang ia serukan.
Dahulu, banyak ibu yang mengingatkan anaknya yang sedang menulis buku. Salah satunya adalah ibu dari seorang ulama besar, Sufyan Ats-Tsauri. Pada suatu saat ibunya berpesan dan memberi nasihat, “Wahai anakku, apabila engkau menulis sepuluh huruf, maka lihatlah pada dirimu: apakah rasa takut, kelemahlembutan, dan ketenanganmu semakin bertambah? Jika hal itu tidak engkau lihat ada pada dirimu maka ketahuilah bahwa hal itu akan memudharatkanmu dan tidak memberi manfaat bagimu.”
Buku yang bergizi adalah buku yang mendidik para pembaca. Ia tidak mengobral kata tanpa makna. Tidak memoles tulisan dengan kepalsuan. Tapi, ia benar-benar tulus dalam menunjukkan kebenaran.
Buku yang bergizi adalah buku yang menghibur pembaca dari kesedihan dan memperingatkan dari ketergelinciran. Dan, ia benar-benar dibutuhkan, baik oleh jasmani maupun ruhani. Tidak hanya untuk kejar target dan koleksi.
Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat bagi kita.
MENULIS DENGAN HATI
Sebelum saya mengenal dunia penerbitan, saya memiliki cita-cita yang, menurut orang kampung saya, tidak masuk akal. Cita-cita tersebut adalah menjadi penulis. Saya menyadari hal itu karena masyarakat saya adalah masyarakat tukang kayu. Setiap hari yang mereka tahu adalah bagaimana kebutuhan materi tercukupi. Mereka tidak tahu buku ini dan buku itu. Paling banter, yang mereka tahu adalah buku yasin, barzanji, dan tahlilan. Tidak lebih dari itu.
Namun, saya tidak putus asa. Ejekan dan celaan mereka justru saya tanggapi dengan banyak membaca dan menuliskan apa yang saya ketahui ke dalam lembaran-lembaran buku tulis. Benar, saya berhasil menulis hingga belasan judul di buku tulis. Waktu itu saya tidak tahu, bagaimana buku tersebut bisa diterbitkan dan dibaca banyak orang. Bahkan, saya yakin hingga sekarang hanya ada segelintir orang yang membacanya. Atau, bisa jadi, tak ada seorang pun yang membacanya.
Karena satu dan lain hal, cita-cita tersebut sempat saya lupakan. Selama tiga tahun saya berpetualang menuntut ilmu dan mencari pengalaman kerja. Memang agak pahit, tapi ia menyembuhkan. Dalam rentang waktu tersebut, saya pernah tercatat sebagai penjual sayuran, pedagang mie ayam, guru, karyawan, dan sopir. Tak ada yang kebetulan karena semua telah ditakdirkan. Demikian saya mencoba menghibur diri.
Sampai akhirnya saya bertemu dengan teman-teman yang bergelut di dunia penerbitan buku. Tanpa sadar, cita-cita saya menjadi penulis bangkit kembali. Menemukan tempat yang tepat untuk bermimpi. Namun, saya sempat kecewa. Selama dua tahun di penerbitan, ternyata saya mandul. Tak ada karya yang saya hasilkan, selain buku-buku yang saya sunting.
Memang saya sempat menawarkan beberapa karya ke beberapa penerbit. Tapi, malang tak dapat ditolak dan untung tak dapat diraih. Karena kritikan dari berbagai penerbit, hampir saja saya berkesimpulan bahwa mereka adalah tim pencela. Bukan pembangun mental dan jiwa.
Saya kembali ke cita-cita awal. Menulis dengan hati untuk kemaslahatan umat. Bukan mengejar royalti atau ketenaran. Saya ingin menulis untuk menyampaikan kebenaran. Tak peduli, biar pembaca yang menilai. Dan, alhamdulilah sudah terbukti. Setelah beberapa buku saya terbit, banyak respon positif dari para pembaca yang membaca dengan hati. Dan benar, apa yang dari hati akan sampai ke hati.
MAU JADI IKON KAPITALISME?
Oleh: Fahrur Mu'is
Beberapa hari sebelum menulis materi ini, saya diminta mengisi sebuah forum kecil di Solo tentang bagaimana menerjemahkan buku Arab ke Indonesia. Sekilas, saya memandang para peserta sangat bersemangat. Meskipun, jumlah mereka tak melebihi hitungan jari. Mereka ingin andil berdakwah melalui dunia penerjemahan buku-buku Islam. Saya kagum dengan ketulusan niat mereka.
Selang empat hari kemudian, ada seorang teman yang bergelut di dunia pemasaran buku menyampaikan keprihatinannya kepada saya. Setelah bersilaturahmi ke beberapa agen buku, katanya, ia dikejutkan oleh sebuah fenomena. Begitu sampai di tempat tujuan, ia langsung ditodong para agen dengan pertanyaan, "Mas, jauh-jauh ke sini mau ngasih diskon berapa?"
Ya, sebuah pertanyaan—yang menurutnya—mengikuti madzhab kapitalisme dan jauh dari dakwah islamiyah. Padahal, ia menambahi, buku-buku tersebut berisi ajaran Islam yang harus didakwahkan. Sayang, jika kedatangannya hanya diasumsikan murni sebagai pegiat bisnis. Ia takut jika orang yang seprofesinya dengannya, tak lebih dari keledai yang memikul buku ke sana kemari tanpa tahu maksud dan kandungannya.
***
Sengaja dua kisah di atas saya sampaikan dalam tulisan ini. Saya berharap tak ada kapitalisme yang berkedok agama. Karena memang banyak kepentingan yang diatasnamakan agama. Memang, agama takkan bisa dibungkus dengan kapitalisme, tapi tidak demikian dengan kapitalisme. Ia bisa masuk ke mana saja.
Kisah pertama menunjukkan bahwa niat awal menerbitkan buku atau mengindonesiakan buku Arab adalah membantu orang lain untuk memahami agamanya. Dalam bahasa agama ia dikenal dengan dakwah. Namun, seiring dengan perkembangannya, sebagaimana dalam kisah kedua, nilai kapitalisme lebih dominan daripada semangat menyebarkan rahmat ke seluruh alam.
Saya berharap semua pihak dalam dunia perbukuan tidak menjadi alat bagi pihak yang lain, baik untuk kepentingan dunia maupun akhirat. Penerbit, agen, dan pembaca bukan alat siapa-siapa. Kita ingin seluruh pihak memosisikan dirinya sebagai partner bagi yang lain dalam kebaikan dan takwa. Bukan sebagai alat atau ikon kapitalisme.
JUDUL PUN PERLU ETIKA
Ketika terbit buku yang berjudul Dajjal 'Sudah' Muncul dari Khurasan, banyak orang yang mengeluh kepada saya. Kata mereka, dengan setengah tidak percaya, "Mas, apa betul Dajjal sudah muncul? Terus, sekarang di mana?" Bahkan, saking takutnya, ada seorang pembaca yang datang ke penerbit minta dituliskan doa-doa penangkal Dajjal.
Menarik. Karena judul tersebut berhasil menyedot perhatian pembaca. Tapi sayang, ketika ditanyakan ke hati nurani, secara jujur dan jelas ternyata judul tersebut sedikit mengelabui. Meskipun, itu adalah keputusan pemasaran dan penerbit telah memberi tanda kutip tunggal pada kata 'Sudah' yang pada cetakan berikutnya diberi keterangan baca: 'Sudah Pasti' sebagai bentuk pertanggung jawaban. Diakui ataupun tidak, demikianlah adanya karena kata 'Sudah' tak bisa ditafsiri.
Sebulan kemudian, saya diminta oleh para mahasiwa UNS untuk menjadi moderator dalam acara bedah buku Sudah Munculkah Dajjal, Ya'juj & Ma'juj? Sekali lagi, banyak pihak yang menyampaikan kepada saya bahwa judul tersebut latah dan dipaksakan. Modal numpang.
Ternyata, fenomena tersebut tidak hanya terjadi pada buku-buku pemikiran, tetapi juga telah merambah pada buku-buku hiburan. Ambil saja contohnya buku Misteri Shalat Subuh yang dibantah 'gila-gilaan' oleh buku Menguak Misteri Shalat Subuh. Bahkan, ketika saya ingin menulis buku, saya betul-betul kaget. Mengapa? Karena ternyata buku bantahannya sudah terbit duluan.
Tidak hanya itu. Judul yang asal numpang alias ikut-ikutan juga banyak. Baru-baru ini saya dicurhati oleh teman sesama penulis yang judul bukunya juga mengalami nasib yang sama. Bedanya dengan saya, bukunya sudah terbit dahulu kemudian baru 'ditumpangi'.
Akhlak penjudulan. Itu yang mau saya sampaikan di sini. Saya tahu bahwa itu semua ada ilmunya dalam buku-buku refrensi tentang penulisan. Tapi, ada yang perlu kita ingat: apakah itu adalah cara orang beriman ataukah tidak. Jangan-jangan itu adalah jalan orang-orang di luar Islam yang menghalalkan segala cara. Apakah demi segepok uang kita tega 'sedikit' membohongi? Apakah karena ingin mengejar perdikat bestseller kita abaikan akhlak islami? Mari bertanya pada hati kecil kita. Sekali lagi, di sini saya mewakili keresahan sebagian pembaca, bukan bermaksud apa-apa.
MENGASAH KETERAMPILAN
Oleh: Fahrur Mu'is
Baru-baru ini ada teman yang mengeluh. Seiring dengan rutinitas megedit setiap hari, katanya, ilmu dan kemampuannya tidak bertambah. Bahkan, imbuhnya, cenderung menurun. Mengapa? Bukankah banyak jam terbang berarti tambah keterampilan? Bukankah banyak pengalaman berarti tambah keahlian?
Sejenak saya merenung. Mencari, kira-kira apa jawabannya. Dan benar, hal itu juga saya rasakan. Ketika saya terjebak dalam sebuah rutinitas terpola, seperti mengedit, menerjemah, dan menulis yang tiada henti, ternyata saya tidak semakin produktif. Saya tidak tahu, entah ini hanya terjadi pada saya, entah juga pada Anda.
Berkaitan dengan hal ini, saya teringat ketika belajar menjadi tukang kayu 20 tahun yang lalu. Waktu itu, kakek menyuruh saya menggergaji kayu. Pada awal-awal waktu, saya mampu menggergaji dengan cepat. Namun, tidak demikian dengan waktu-waktu selanjutnya. Meskipun saya menggergaji dengan tenaga dan alat yang sama, ternyata waktunya semakin lama. Setelah diselisik, ternyata hal itu disebabkan oleh gergaji yang kian lama kian tumpul. Akhirnya, hasilnya pun tidak maksimal.
Dari situ, saya tersadar bahwa keterampilan manusia juga perlu diasah. Tanpa pengasahan, keterampilan akan stagnan. Tak bertambah, tapi malah mungkin berkurang. Banyak menulis bukan jaminan tulisan akan lebih bagus dan berkualitas. Pun demikian, banyak menerbitkan buku bukan jaminan buku selanjutnya tambah bermutu. Tergantung apakah ada pengasahan keterampilan dan penambahan ilmu atau tidak. Jika tidak, boleh jadi buku yang dihasilkan akan menurun. Baik pilihan tema yang tidak kuat maupun hasil editing yang monoton. Ringkasnya, tidak semakin lebih baik.
Inilah tantangan bagi para perajin buku. Dan bagaimana konkretnya? Silakan semua berkreasi. Tidak selalu dengan membaca. Tidak mesti dengan pelatihan, dan tidak harus dengan dialog. Lalu, dengan apa? Apakah dengan ilmu kebatinan alias dibatin saja? Tentu tidak, cara tersebut bisa digunakan, hanya saja saya tidak membatasi.
Friday, June 13, 2008
AGAR SHALAT TAK SIA-SIA
SHALAT TANPA PAHALA
Oleh: Fahrur Mu'is
Amal seorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Jika shalat seseorang baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Sebaliknya, jika shalat seseorang buruk, sungguh ia telah gagal dan merugi. Tapi sayang, bila diperhatikan, banyak orang shalat yang hanya asal-asalan. Shalat baginya adalah beban. Tujuan pelaksanaanya tak lebih dari menggugurkan kewajiban. Gerakannya tanpa penghayatan dan bacaannya hanya sekadar hafalan. Shalatnya sia-sia dan sedikit pun tidak memberi pengaruh dalam kehidupan.
Buku yang ditulis oleh Muhammad bin Qusry ini alias Fahrur Mu'is menawarkan berbagai cara agar shalat kita tidak sia-sia. Sebab, jauh-jauh hari Rasulullah telah mengingatkan, “Sungguh seseorang telah shalat selama 60 tahun, tetapi satu pun shalatnya tidak ada yang diterima. Boleh jadi ia menyempurnakan rukuk, tetapi tidak menyempurnakan sujud. Atau, ia menyempurnakan sujud, tetapi tidak menyempurnakan rukuk.” (HR. Abul Qashim Al-Ashbahani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah).
Dalam buku ini, pengarang tidak hanya membahas sebab-sebab internal, tetapi juga sebab-sebab eksternal yang membuat shalat tak berpahala. Penulis membagi buku tersebut menjadi empat bab, yaitu dimulai dengan penyegaran kembali tentang kedudukan shalat dalam Islam dan diakhiri dengan berbagai cara agar shalat tak sia-sia.
Buku ini menarik dan membuat penasaran seluruh umat Islam. Benarkah ada hal-hal yang menyebabkan shalat tidak diterima? Atau, bahkan ‘menjewer’ telinga siapa saja yang buruk shalatnya. Bagaimanapun, buku ini merupakan buku pertama yang membahas penyebab shalat sia-sia dan tak berpahala. Oleh karena itu, layak dibaca oleh siapa saja yang ingin dipermudah hisabnya.
BERTEMU DALAM BUKU
BERTEMU DALAM BUKU
Oleh: Fahrur Mu'is
Penulis Sedekah Tanpa Uang
"Saya pembaca buku Sedekah Tanpa Uang asal Aceh. Berkat membaca buku itu, saya jadi bersemangat melakukan kebaikan." 085261673XXX
Setelah buku saya dicetak ribuan eksemplar, kadang-kadang muncul pertanyaan: siapa pembacanya? Pertanyaan ini sangat logis karena memang banyak penulis yang jarang bertatap muka dengan pembaca bukunya. Asumsi dasar mengatakan bahwa pembaca itu ada. Jumlahnya besar. Siapa pun tahu berapa jumlah penduduk
Dalam hitungan bulan, pertanyaan itu mulai ada jawabnya. Beberapa pembaca mulai kirim Sandek 'pesan sandek'.
Semuanya bercampur aduk jadi satu. Dalam ruang dan waktu yang berbeda. Jujur, terkadang hal itu menambah motivasi dan mengaduk-aduk emosi.
Secara pribadi, saya merasa harus bertanggung jawab pada publik. Atas apa? Atas apa yang saya tulis dan atas apa yang saya sampaikan. Dan yang terpenting, bagaimana kualitas tulisan ke depan lebih bagus. Karena hakikatnya semua 'Sandek' tersebut adalah sebuah peringatan: tingkatkan kualitas.
Di sinilah pikiran saya dan pembaca bertemu. Dalam tempat yang
Ya, ini terjadi jika ada yang membaca dan juga ada yang menulis. Lebih penting dari itu, bahasa, wawasan, perasaan, dan hati keduanya harus nyambung. Atau, minimal dibuat bagaimana bisa tersambung. Tentunya, agar manfaat yang didapat semakin besar.
SEDEKAH TULISAN
SEDEKAH TULISAN
Oleh: Fahrur Mu'is
Penulis Sedekah Tanpa Uang
Empat tahun terakhir ini, saya seringkali menjadi ustadz dadakan alias pengisi pengganti. Karena ustadznya berhalangan, maka panitia minta tolong agar saya bersedia menggantinya. Dengan bersenjatakan kata "minta tolong" umumnya panitia menaklukkan hati saya.
Sebenarnya, saya tidak suka cara seperti itu. Mengapa? Karena menyampaikan sebuah materi pengajian bukan seperti jualan jamu. Ia perlu
Itulah mengapa saya
Kedua, saya ingin seluruh tulisan saya menjadi amal jariyah. Atau, minimal sebagai sedekah, baik bagi saya pribadi maupun
“Pahala amalan dan kebaikan yang akan menghampiri seorang mukmin sepeninggalnya ialah ilmu yang ia amalkan dan sebarkan, anak saleh yang ia tinggalkan, mushaf yang ia tinggalkan, masjid yang ia bangun, rumah untuk orang yang dalam perjalanan yang ia bangun, sungai yang ia alirkan, atau sedekah yang ia keluarkan dari hartanya di kala sehat dan hidupnya, maka ia akan bakal menghampirinya sepeninggalnya.” (HR Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahîhul Jâmi‘).
"Kata-kata yang baik adalah sedekah, setiap langkah menuju shalat adalah sedekah, dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah" demikian Rasulullah mengajari kita dalam hadits riwayat Al-Bukhari.
Maka, bersedakhalah, meskipun dengan satu kata!
MOTIVASI MENULIS
MOTIVASI MENULIS
Oleh: Fahrur Mu'is
Sebulan yang lalu, sebuah organisasi kampus di
Tak ada rotan, akar pun jadi. Demikian pepatah mengatakan yang, secara pribadi saya artikan dengan tak ada pakar, saya pun berani. Minimal saya sudah punya empat karya yang telah diterbitkan. Ditambah lagi, saya memiliki beberapa referensi yang memadai.
Nah, yang sudah saya sampaikan di kajian tersebut dan juga di sini ialah karya tulis yang telah dihasilkan oleh para ulama. Saya sampaiakan sekadar contoh:
-Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, beliau mampu menulis sebanyak 40 lembar per hari.
-Imam Al-Baihaqi menulis kitab sebanyak seribu juz.
-Imam Abu Hatim Ar-Razi menulis kitabnya, Al-Musnad, sebanyak seribu juz.
-Ibnu Taimiyah telah menulis lebih dari 400 karangan dalam berbagai disiplin ilmu.
-As-Suyuthi, yang digelari dengan "Bapak Kitab" telah menulis hingga mencapai enam ratus karangan. Data tersebut dapat kita baca dalam buku Uluwwul Himmah, tulisan Muhammad Al-Muqaddam.
Jelas hal itu membuat kita semua terkesima. Betapa produktifnya mereka menulis. Betapa barakahnya waktu mereka. Padahal, dahulu belum ada komputer, laptop, dan internet. Lalu, bagaimana dengan kita sekarang saat fasilitas sudah lengkap? Sudah berapa bukukah yang kita tulis? Maka, tak ada motivasi terkuat yang melebihi dorongan hati untuk menyampaikan kebenaran. Tulis sekarang juga!