Sebagai konsumen saya bingung dan kecewa. Pertama, hal seperti ini rentan mengecewakan. Karena kalau tidak diteliti, bisa jadi kita membeli dua buku yang sebenarnya isinya sama. Kedua, kalaupun kita tahu, tentu hal itu akan membingungkan kita saat memilih. Dan tentu saja, jika kita kritis, kita akan menanyakan kredibilitas penerbitnya. Termasuk siapa penerjemah dan editornya.
Sebut saja buku Panduan Shalat Lengkap Empat Madzhab tulisan Abdul Qadir Ar-Rahbawi dan Kenapa Harus Shalat karya Muhammad Al-Mukaddam. Saya mendapatkan buku tersebut minimal sudah dicetak oleh tiga penerbit. Anehnya lagi, dari segi isi dan penampilan tidak ada perbedaan yang mencolok.
Sebagai seorang pegiat buku saya memahami fenomena ini. Pertama, bisa jadi naskah tersebut dinilai bagus oleh para penerbit. Tak peduli sudah diterbitkan orang lain atau belum. Kedua, sebenarnya penerbit ingin mencari naskah yang berbeda, tapi kesulitan mendapatkannya. Dan asumsi-asumsi lainnya.
Lalu, apa yang mengganjal hati? Menurut saya, penerbitan satu buku ramai-ramai bisa menjadikan ilmu tak berkembang. Itu-itu saja pembahasannya. Padahal, ide dan tema baru takkan pernah habis. Yang paling parah ialah jika itu dilakukan semata-mata untuk mengejar target penjualan dan merasa nyaman menjadi pengekor. Maka, prinsip menerbitkan buku yang benar-benar dibutuhkan masyarakat dan temanya belum banyak disentuh perlu dipegang bersama.
1 comment:
yah gapapa kang, semoga barakah saja. hehehe mungkin biar bisa diterima luas oleh masyakarat.
Post a Comment