Seiring berjalannya waktu, seorang editor harus meningkatkan kemampuannya. Seorang editor harus bisa menjadi penulis atau ia akan tersingkir. Sebab, penerbit buku pun berpikir rasional. Tidak perlu banyak karyawan karena biaya operasional akan melambung tinggi. Cukup beberapa karyawan saja, asal memiliki banyak kemampuan.
Perkembangan tersebut berimbas pada perubahan pekerjaan. Awalnya hanya mengedit tulisan yang sudah jadi, beralih pada mengonsep dan menyusun sendiri. Lalu, bagaimana dengan royalti dan hak cipta naskah tersebut, mengingat semua itu dilakukan pada jam kerja dan semua telah difasilitasi oleh penerbit.
Saya sempat menanyakan persolan ini kepada Praktisi perbukuan nasional, Bapak Bambang Trim. Berikut ini jawabannya:
1.Hal seperti ini lazim pada sebuah penerbitan karena memang ada beberapa editor yang berpotensi juga sebagai penulis. Berdasarkan deskripsi kerja (job des) editor, tidak ada keharusan editor menulis naskah buku. Karena itu, kedudukan editor yang menulis tetap menjadi penulis dan berhak atas imbalan sebagai penulis.
2.Saya biasanya mengusulkan dua hal. Apabila editor menulis menggunakan jam kerja kantor, difasilitasi dalam hal referensi serta alat kerja (komputer) maka editor mendapatkan imbalan sebagai penulis tidak dalam hitungan full. Namun, apabila yang terjadi sebaliknya (meskipun ide dari penerbit) yaitu dikerjakan di luar jam kantor dengan tidak menggunakan fasilitas kantor, editor berhak mendapatkan imbalan full sebagai penulis.
3.Hak cipta tetap berada di tangan penulis kecuali ada kesepakatan pengalihan hak cipta. Dan kesepakatan ini hendaknya dituliskan serta dibicarakan jauh-jauh hari. Karena itu, jika hak cipta dialihkan, penulis pun akan mendapatkan imbalan atas pengalihan hak cipta tersebut dengan sistem outright.
Demikian jawaban beliau, dan semoga bisa menjadi pencerahan bagi para editor, penulis, dan penerbit buku.
No comments:
Post a Comment