Total Pageviews
Search This Blog
Wednesday, July 29, 2009
SIAPA YANG LAYAK MENERBITKAN KARYA ANDA?
Jalan-jalan ke rumah penulis terkenal, saya dapat oleh-oleh yang dapat disharing di sini. Beliau sudah cukup lama malang melintang di dunia tulis-menulis. Mulai dari bukan siapa-siapa hingga menjadi semua orang kenal saya.
Pengalaman puluhan tahun berinteraksi dengan berbagai penerbit, memberinya pelajaran yang sangat berharga. Ternyata tak sedikit penerbit yang mengecewakan. Maka benar pesan yang mengatakan: engkau tidak mengenal seseorang hingga engkau pernah tinggal, bepergian, dan bermualah dengannya. Inilah beberapa pesan yang sempat saya tangkap.
1.PENERBIT ISLAM
Ini adalah identitas sekaligus penjamin bahwa ilmu harus diamalkan. Penerbit yang keislamannya kurang baik, tidak masuk prioritas. Betapa penulis akan menangis setiap hari jika ternyata penerbit tidak menghayati dan mengamalkan isi buku yang diterbitkan. Saya sempat miris melihat penerbit yang menerbitkan buku tentang keutamaan shalat berjamaah, tapi orang-orang yang ada dalam penerbitan tersebut jarang melakukannya. Bahkan, penulis pun begitu. Ia mempunyai beban moral dengan apa yang ditulisnya. Mengapa? Karena jelas pesan ilahi: kelak orang yang menyuruh kebaikan tapi dia tidak melaksanakan, dan melarang kemungkaran tapi dia sendiri melaksanakan, akan berputar-putar seperti keledai memutar gilingan di dalam neraka. Na’udzubillahi min dzalik.
2.MENYEJAHTERAKAN KARYAWAN
Sebenarnya, pasang surutnya sebuah penerbit terkait erat dengan kerja karyawannya. Sayang sekali, acap kali penerbit merasa karyawanlah yang membutuhkan penerbit. Jarang sekali ada penerbit yang dengan tulus menyatakan bahwa ia-lah sebenarnya yang membutuhkan karyawan. Asumsi bahwa karyawan adalah pihak yang dibutuhkan, hampir tidak ada—untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali. Lebih gila lagi, banyak pemilik modal menganggap bahwa karyawan bekerja untuk dirinya. Seluruh jam kerjanya sudah dibeli. Mulai jam 8 pagi hingga 4 sore, kecuali waktu istirahat, harus digunakan untuk kepentingan perusahaan. Seakan ukuran bekerja hanyalah waktu. Memang ini sah-sah saja, sesuai dengan akad yang disepakati. Namun ironinya, giliran mendapatkan keuntungan, banyak penerbit yang lupa karyawan. Ajaran itsar (mengutamakan orang lain) seakan tak boleh masuk dalam perusahaan.
Memang ukuran kesejahteraan bisa berbeda-beda. Dan tentunya, menyesuaikan kemampuan penerbit. Mudah-mudahan tidak ada karyawan yang bekerja sambil pusing, bahkan menangis dalam hati, memikirkan kebutuhan pokok keluarganya yang belum terpenuhi.
3.DAPAT DIPERCAYA
Mudah-mudahan penerbit yang telah memikirkan kesejahteraan karyawannya adalah penerbit yang bisa dipercaya. Baik oleh pembaca, distributor, penulis, penerjemah, maupun siapa saja yang berhubungan dengan penerbit. Bukan rahasia lagi jika ada penerbit yang suka ingkar janji. Bahkan, tak jarang ada penulis yang harus ‘berjuang dulu’ untuk mendapatkan hak laporan royalti. Diingatkan berkali-kali tak ditanggapi. Maka, bagaimana jika tak diingatkan?
Professional dan amanah. Itulah yang diharapkan. Meski, misalnya, ada kendala financial, penerbit masih bisa membuat surat permohonan permakluman kepada penulis. Yang penting, ada laporan yang jelas: berapa buku yang laku terjual, kapan akan dibayarkan, dan berapa yang masih tersisa.
4.MAMPU MENGEMAS DENGAN BAIK
Karya yang baik adalah karya yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh: mencurahkan segala kemampuan. Otak kanan dan otak kiri dioptimalkan. Karena, tak jarang masyarakat alergi dan menolak suatu produk hanya dengan satu alasan: kemasan tidak menarik. Belum tentu masyarakat menolak isi buku. Boleh jadi mereka sedang mencari-cari. Namun, karena tak yakin dengan judul, cover, sinopsis, dan bahkan penulisnya, konsumen ragu-ragu untuk membeli.
Inilah sedikit yang saya ingat dari silaturahmi saya kepada salah satu penulis bestseller. Mudah-mudahan ini memberi masukan kepada semua pihak yang terlibat dalam penerbitan buku. Memang, ada saatnya kapan penulis harus berjuang dan kapan menyeleksi penerbit mana yang layak menerbitkan karyanya. Tidak selalu merasa dibutuhkan, tapi ada saatnya merasa dibutuhkan. Terima kasih Saudara M. Fauzil Adhim.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment