Total Pageviews

Search This Blog

Wednesday, January 11, 2012

Masa Depan Penulis

Sejak duduk di bangku Madrasah Aliyah, saya sudah mulai menulis. Ya, menulis dalam arti mengikat makna dari buku-buku yang telah saya baca. Bukan ringkasan, melainkan dalam bentuk miniatur sebuah buku yang siap diterbitkan. Ada judul, ada daftar isi, ada prakata, ada bab, ada sub bab, ada penutup, dan ada referensi. Lengkap.

Waktu itu saya belum terpikirkan untuk apa tulisan itu. Yang ada di benak saya adalah untuk menuangkan wawasan yang saya serap dari buku yang sudah saya lahap. Dengan bahasa saya sendiri. Dengan perasaan saya sendiri. Dan dengan hati nurani sendiri. Kalimatnya benar-benar murni keluar dari diri saya sendiri. Dan satu lagi, saya masih ingat betul, tulisan itu ingin saya jadikan sebagai peninggalan saya. Biarpun sudah mati, tetapi kata-kata dan pemikiran saya masih hidup.

Itu pada tahun 1997-2000. Setelah itu, saya sempat meninggalkan dunia tulis menulis. Karena saya fokus untuk belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu Islam. Dari satu lembaga pendidikan ke lembaga pendidikan yang lain, dan dari satu ustadz ke ustadz yang lain. Empat tahun kemudian, saya bertemu dunia penulisan dan penerbitan lagi. Kali ini benar-benar penerbitan buku. Bukan sekadar menulis untuk konsumsi pribadi. Saya sangat gembira, seakan cinta yang lama bersemi kembali.

Dua tahun kerja sebagai editor, saya mulai belajar banyak hal. Mulai dari manajemen penerbitan, pemilihan tema yang laku di pasar, produksi dan penyebaran buku, penggarapan yang memerlukan ketelitian, ide kreatif, dan ketepatan waktu, serta perlombaan dengan sesama penerbit Islam.

Selain belajar banyak hal dari para penulis, ternyata keinginan kuat saya untuk menulis muncul kembali. Kali ini tentu menulis bukan untuk konsumsi pribadi, melainkan untuk umum. Saya pun tidak menerbitkan sendiri, tetapi bekerja sama dengan penerbit. Bila naskah dinilai layak, punya pangsa pasar yang jelas, punya differensiasi, maka penerbit pun akan mencetaknya. Jika tidak, maka kata mereka, mohon maaf kami belum bisa menerbitkannya.

Seiring berjalannya waktu, saya merasakan bahwa menulis adalah soal cinta. Cinta ilmu, cinta membaca, cinta berbagi, cinta menerima, cinta mengukir kata-kata, cinta perubahan, dan cinta masa depan yang lebih bagus. Tentu saja cinta itu tidak berdiri sendiri sehingga menjadi hampa, tetapi tumbuh dan mengikuti cinta kepada Allah, Rasulullah, dan agama Islam.

Dari sinilah penulis bisa tenang menatap masa depan. Dia tidak akan berhenti menulis karena banyak penerbit yang gulung tikar. Dia tidak akan berhenti menulis meskipun royaltinya tidak cukup untuk membeli sesuap nasi. Pun dia tidak takabur dan lupa diri ketika dunia bisa dia tundukkan dengan pena. Yang terpenting adalah dia mau berusaha, berusaha, dan berusaha. Mencari jalan untuk selalu maju dan berkembang. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Karena pemikiran dan pengetahuan tak akan mati. Dan tentu tak akan tidak diminati.













No comments: