Berapa kali Rasulullah shalat fardhu sendirian dalam hidupnya? Ada yang tahu? Jika Rasulullah tidak pernah mencontohkan shalat fardhu sendirian, mengapa banyak kaum muslim yang shalat fardhu sendirian?
Suatu
kali seorang sahabat yang buta minta keringanan agar dibolehkan salat
fardhu di rumah. Sebab, dia seorang yang buta, tidak punya penuntun,
jalanan di Madinah banyak serangga beracun, dan hewan buas. Rasulullah
bertanya, "Apa kamu dengar azan?" Ia menjawab, "Iya." Kata Rasulullah,
"Jika begitu datanglah ke masjid." Maka, bagi kita yang tidak buta dan mendengar seruan azan, tidak malukah jika salat sendirian di rumah?
Meski sakit berat dan sempat pingsan 3 kali, Rasulullah
tetap ingin shalat berjamaah. Beliau pernah datang ke masjid untuk shalat berjamaah dengan dipapah oleh dua orang. Tidak malukah kita yang sehat salat fardhu sendirian?
Meskidalamkeadaanperang, beliautetapshalatjamaah. Hal inipernahbeliau lakukansebanyak 10 kali. Lalu, apa alasan kita untuk melaksanakan salat fardhu sendirian?
Membaca hadis-hadis Rasulullah ini, membuat hatiku rindu naik haji. Siapa saja yang membaca tulisan ini, semoga berkenan mendoakan saya agar bisa terus-menerus mengerjakan haji dan umrah yang mabrur. Semoga juga judul tulisan ini bisa saya tulis menjadi sebuah buku, setelah saya menulis HAJI A-Z. Inilah di antara keutamaannya.
Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw.
bersabda:
“Siapa berhaji karena
Allah, lalu tidak berkata jorok dan tidak berbuat maksiat, maka ia pulang dalam
keadaan seperti baru dilahirkan oleh ibunya.”[1]
Abdullah
bin Kinanah bin Al-Abbas bin Mirdas meriwayatkan dari bapaknya bahwa bapaknya
menyampaikan kepadanya, “Rasulullah saw. memohon ampunan dan rahmat bagi
umatnya pada sore hari Arafah. Beliau memperbanyak doa, maka Allah menjawabnya,
‘Aku telah melakukan. Aku mengampuni umatmu kecuali orang yang menzalimi orang
lain.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya Engkau mampu
mengampuni orang yang zalim dan membalas orang yang dizalimi dengan apa yang
lebih baik daripada kezalimannya.’ Sore itu tidak ada sesuatu kecuali itu.
Ketika esok hari, di hari Muzdalifah, Nabi kembali berdoa untuk umatnya. Sesaat
kemudian beliau tersenyum, maka sebagian shahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah,
bapak dan ibuku sebagai tebusanmu. Engkau tersenyum di saat-saat engkau tidak
pernah tersenyum. Apa yang membuatmu tersenyum? Semoga Allah melanggengkan
keceriaan dan kebahagiaanmu.’ Nabi menjawab, ‘Aku tersenyum karena musuh Allah
yaitu Iblis, ketika ia mengetahui bahwa Allah mengabulkan permohonanku untuk
umatku dan Dia mengampuni orang yang zalim, maka ia berteriak, ‘Celaka dan
sialnya diriku.’ Ia menaburkan tanah ke wajah dan kepalanya, maka aku tersenyum
karena kesedihannya’.”[2]
“Terus meneruslah mengerjakan haji dan umrah.
Sebab keduanya dapat menghilangkan kefakiran dan dosa-dosa, sebagaimana alat
peniup pandai besi dapat membersihkan karat besi.”[3]
“Siapa mendatangi rumah ini, lalu tidak
berbuat keji dan maksiat, maka ia pulang dalam keadaan seperti baru dilahirkan oleh
ibunya.”[5]
Nabi
saw. bersabda, “Adapun keluarmu dari rumah menuju Baitul Haram, maka setiap
tanah yang diinjak oleh kendaraanmu, Allah akan menuliskan untukmu sebuah
kebaikan dan menghapuskan dosamu. Adapun wukufmu di Arafah, maka Allah turun ke
langit dunia dan membanggakan mereka kepada para malaikat seraya berfirman,
‘Mereka adalah hamba-hamba-Ku. Mereka mendatangi-Ku dalam keadaan kusut dan
berdebu dari segenap penjuru yang jauh. Mereka mengharapkan rahmat-Ku dan takut
akan azab-Ku, padahal mereka tidak melihat-Ku. Lalu, bagaimana jika mereka
melihat-Ku?’ Seandainya engkau mempunyai dosa sebanyak pasir yang menggunung,
sejumlah hari-hari umur dunia, ataupun seperti tetesan hujan, maka Allah akan
menyucikannya darimu. Adapun lemparan jumrahmu, maka ia disimpan pahalanya
untukmu. Adapun pemotongan rambutmu, maka setiap helai rambut yang jatuh adalah
bernilai satu kebaikan. Lalu jika engkau telah bertawaf di Baitullah, maka
engkau telah terbebas dari dosa-dosamu seperti saat engkau dilahirkan oleh
ibumu.”[6]
Ibnu
Hajar berkata, “Ia pulang dalam keadaan seperti baru dilahirkan oleh ibunya,
yakni tanpa dosa. Zahirnya adalah ampunan terhadap dosa-dosa besar, dosa-dosa
kecil, ataupun dosa-dosa yang mengiringinya.”
Sedangkan
haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh dosa sedikit pun. Inilah pendapat
yang dikuatkan oleh An-Nawawi.
Al-Munawi
berkata dalam Faydhul Qadîr (6/115), “Bersandar pada sabda beliau ‘Dalam
keadaan seperti baru dilahirkan oleh ibunya’, yakni dalam kebebasannya dari
dosa-dosa, di mana ia mencakup dosa-dosa besar dan dosa-dosa pengiringnya.
Inilah pendapat yang dianut oleh Al-Qurthubi dan Iyadh, namun Ath-Thabrani mengatakan,
‘Ia berlaku―dalam kaitannya
dengan kezaliman―bagi orang yang bertaubat
tetapi tidak mampu mengembalikannya.’”
Masih
menurut Al-Munawi dalam Faydhul Qadîr, “Balasan haji mabrur bagi
pelakunya tidaklah terbatas pada dihapuskannya sebagian dosa-dosanya, lebih
dari itu ia pasti akan masuk surga.”
Beliau
juga menuturkan, “Balasan haji mabrur bagi pelakunya tidaklah terbatas pada
dihapuskannya sebagian dosa-dosanya, namun ia pasti akan masuk surga bersama
rombongan orang-orang yang terdahulu atau tanpa azab. Jika tidak, maka setiap
mukmin pasti akan masuk surga meski ia tidak berhaji.”[7]
Aduhai,
alangkah indahnya perjalanan ini. Ia dapat menghapuskan dosamu dan
mengantarkanmu ke barisan
terdepan menuju surga.
[2] HR Ahmad
dan Abu Dawud. Ibnu Hajar berkata, "Abu Dawud meriwayatkannya maka hadis
ini menurut pendapat Ibnu Shalah dan orang-orang
yang sependapat dengannya adalah hasan. Begitu pula menurut jumhur, tetapi
dengan melihat pada penggabungan jalan-jalan periwayatn yang lain, bukan dengan
satu riwayat hadis ini saja." Hadis ini dinilai lemah oleh Al-Albani.
[3] HR Daruquthni
dan Thabrani. Dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami', no. 253
dan Silsilah As-Sahihah, no. 1085.
Apa enaknya jadi umat akhir zaman? Lalu, apa juga enaknya menjadi umat awal zaman? Tentu saja ini bukan wilayah kekuasaan kita. Kita hidup pada masa kita masing-masing. Setiap zaman, waktu, dan masa adalah tantangan bagi kita, dengan kelebihan dan kekurangannya.
Salah satu ujian berat bagi umat akhir zaman adalah mereka akan menghadapi berbagai fitnah dan bencana yang akan terjadi seiring semakin tuanya umur dunia ini. Fitnah tersebut ibarat biji tasbih yang putus. Jika salah satu bencana telah terjadi, maka akan disusul oleh bencana-bencana yang lainnya. Selebihnya, baca buku saya yang bertajuk BENCANA AKHIR ZAMAN. http://pts.com.my/index.php/buku/bencana-akhir-zaman/