Rabu, 4 Februari silam saya ke pameran buku di gedung Wisata Niaga Solo. Begitu masuk, banyak buku baru saya temukan. Buku lama pun tak kurang banyak bercokolan. Semua stan menawarkan discon yang bervariasi. Buku baru dan laris diskonnya berkisar antara 20 sampai 30 persen. Buku yang biasa saja penjualannya, diskonnya antara 40 sampai 70 persen. Buku obral juga banyak di sana. Harganya tidak lagi mengacu pada besaran diskon, tetapi lebih pada ‘penciuman’ penjualnya. Tentu saja, stan tersebut selalu ramai dikerumuni pengunjung. Entah beli entah tidak.
Setelah berkeliling ke sana kemari, akhirnya saya membeli sebuah buku tentang pemikiran keagaman yang sangat tebal: 338 halaman. Terbit tahun 2007. Tahukah Anda berapa harganya? Iya, harganya sangat murah sekali: 5 ribu rupiah. Ini tentu menguntungkan saya. Karena biasanya jika saya sudah tertarik pada buku tertentu yang saya butuhkan, saya tak pernah memperhatikan harga lagi. Di situlah dua kepentingan saya bertemu: mendapatkan buku yang saya butuhkan dan harganya murah.
Memang sebelumnya saya sempat berasumsi bahwa buku murah berarti kualitas parah. Diskon besar-besaran, dalam pikiran saya dulu, menandakan penerbitnya akan segera gulung tikar. Atau, minimal akan menurunkan brand penerbit bersangkutan.
Namun, setelah saya renungkan, asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Saya sempat membeli buku yang mahal, tapi isinya mengecewakan. Dari sisi pengemasan dan penyampaian memang oke, tapi dari kedalaman pembahasan tidak terpenuhi. Tidak ada yang baru. Kesan kuatnya hanya mengulangi pembahasan yang ada.
Tahun 2008 yang lalu, dengan berbagai krisis yang ada, memberi saya pelajaran bahwa berilmu tidak harus mahal. Benar. Niat untuk memudahkan orang memahami agama tak mesti dinilai dengan materi yang akan didapatkan. Yang harus kita catat bersama, kualitas buku tak boleh ditawar, karena ia adalah tiket masuk ke arena persaingan. Lalu, apa cara untuk memenangkan persaingan? Kalau belum berubah, mungkin, jawabannya adalah pengemasan.