Total Pageviews

Search This Blog

Monday, November 1, 2010

Ketika Penulis Bertemu Pembaca


Catatan dakwah di Pulau Simeulue, Aceh.

Di Simeulue, Kudakwahkan Ilmuku

Kedatanganku ke Pulau Simeulue boleh dikatakan tak disangka dan tak diduga. Dari awal, sejak berangkat dari Solo mengikuti Prodin (Program Dakwah Islam Nusantara) ini, aku ditugaskan di kota Medan. Tapi, dari Medan saya diputuskan oleh panitia di sana terbang ke Pulau Simeulue untuk berdakwah selama bulan Ramadhan di sana.
Tidak ada yang saya kenal di Simeulue, kecuali sebuah nama beserta nomor hp-nya: Maulana. Dialah satu-satunya orang yang menyambut kedatangan saya sekaligus satu-satunya panitia untuk menjalankan dakwah ramadhan ini.

Sejak pertama kali bertemu di Bandara Lasikin, Simeulue, lama sekali dia bercerita tentang keadaan sebenarnya. Tidak ada tanda-tanda kegemberiaan untuk segera mengajak saya ke tempat tujuan atau singgah. Dia jelaskan semua keadaannya mulai fasilitas yang minim, biaya hidup yang mahal, siapa yang akan menemani saya nanti, dan sebagainya.

Saya paham. Dan sejak itu saya simpulkan bahwa ini adalah daerah rintisan alias pembukaan lahan yang sebenarnya cukup kondusif. Lebih dari 300 masjid ada di sana. Penduduknya ada sekitar 82.000 jiwa yang tersebar di 8 Kecamatan. Syariat Islam diterapkan di sana karena ia masuk dalam Propinsi Aceh. Kota kabupatennya bernama Sinabang. Di situlah tempat yang rencananya akan saya tinggali. Tepatnya, di kantor PGRI kabupaten Siemeulue, karena kebetulan Maulana adalah seorang guru kontrak di sana.

Pertama kali menginjakkan kaki di sana, hati saya sangat gembira. Masjid-masjid ramai jamaahnya. Tulisan-tulisan yang berupa perintah untuk menegakkan syariat Islam ada di pinggir-pinggir jalan. Misalnya, “Memakai jilbab hukumnya wajib, suruh istrimu anak perempuan memakai jilbab….” “Hanya orang beriman yang menegakkan syariat Allah” dan lain-lain. Di jawa, tulisan-tulisan tersebut belum pernah saya temukan.

Namun, setelah sehari di sana, saya merasa bahwa syariat Islam belum banar-benar dijalankan. Menurut penuturan salah seorang anggota Dinas Syariat Islam, memang tidak bisa diterapkan 100% karena Simeulue masih berada di Indonesia.
Di jalan-jalan masih mudah didapatkan para wanita yang tidak memakai jilbab. Dan yang memakai jilbab pun masih belum sesuai dengan tuntunan syari. Kesimpulan saya: masyarakat belum sadar untuk menerapkan syariat Islam.

Di situlah titik masuk dakwah saya. Ditambah lagi, pemahaman tauhid masyarakat belum menggembirakan. Jarang sekali dai di sana yang menyampaikan persoalan ini, padahal itulah inti dakwah para nabi dan rasul.
Dakwah saya di sana meliputi berbagai kegiatan, yaitu mengisi pesantren kilat di sekolahan-sekolahan, ceramah agama sebelum Tarawih, kuliah subuh, bedah buku, mengajar metode membaca Al-Qur'an, buka bersama, diskusi masalah agama selepas shalat Dhuhur dan Ashar, khutbah jumat, dan khutbah Id.

Semua itu saya rancang sendiri bersama Maulana, salah seorang simpatisan pendukung dakwah. Setiap pagi hari kami bermusyarawah. Siang harinya kami memberikan surat ke masjid-masjid berisi permohonan untuk mengisi, karena di sana semua harus formal. Dan pada sore hingga malam hari kami gunakan untuk menyampaikan ceramah agama. Terkadang saya berangkat seorang diri dan mencari alamat masjidnya sendiri. Tentunya, dengan biaya mandiri.

Mental masyarakat di sana sudah terbiasa dibantu dari mana-mana. Karena Simeulue adalah daerah langganan gempa dan Tsunami. Selama di sana, saya sendiri sudah merasakan dua kali gempa berskala kecil. Sehingga, jiwa sosialnya pun hampir mati. Bahkan, untuk menanggung berbuka dan makan sahur saya saja, satu pun orang tak ada yang menyanggupi, mulai dari masyarakat biasa, kepala sekolah, anggota dewan, kepada dinas, hingga bupati. Mereka menerima dakwah, tetapi belum bisa memberikan fasilitas dainya. Bahkan, ketika Maulana melobi di kantor bupati, mereka terus terang mengatakan bahwa kami hanya bisa memberi surat rekomendasi untuk berdakwah di sini saja.

Padahal, biaya hidup di sana sangat mahal. Sekali makan minimal 10 ribu rupiah. Es kolak atau minuman untuk ta’jil lainnya minimal 5 ribu. Belum lagi biaya-biaya yang lain. Di situlah saya mengambil pelajaran bahwa dai harus mandiri. Karena merengek-rengek hanya akan menghinakan kehormatan seorang dai.
Saya pun dengan sepenuh hati menghadapi kondisi yang ada di sana. Untuk makan sahur, selama hampir 2 pekan, saya berjalan 1 km-an untuk mencari warung. Untuk jangka waktu yang sama, saya juga kerepotan untuk buang air. Karena WC rumah yang saya tempati berdampingan dengan dapur dan ruang makan tetangga. Hanya dibatasi oleh kayu tipis. Bahkan, untuk ember dan gayung pun saya beli sendiri.

Maka, mulai detik itu saya bertekad untuk membiayai operasional dakwah sendiri. Uang pribadi saya sebanyak 500 ribu langsung saya gunakan. Hingga akhirnya ada sebagian masjid yang memberikan uang transportasi setelah ceramah. Demikian pula dari setiap sekolah yang saya mengisi pesantren kilat di sana ada dana untuk penceramahnya. Dari situlah operasional dakwah bisa terkover.

Alhamdulilah, banyak hikmah yang bisa saya dan masyarakat petik dari dakwah di sana. Dengan sebab dakwah, saya bisa kenal dan bahkan mengenalkan Maulana dengan para pejabat dan pendukung dakwah yang lain. Banyak pula umat Islam yang merasa tersemangati dengan kedatangan saya yang rela meninggalkan anak, istri, dan pekerjaan untuk berdakwah. Banyak masyarakat yang mendapat solusi atas permasalahan sehari-hari. Dan yang terpenting, mereka tercerahkan dengan materi tauhid dan syirik yang saya sampaikan. Bahwa kewajiban mereka di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah dengan menauhidkan Allah dan tidak mensekutukan-Nya dengan suatu apa pun.
Bagi saya pribadi, hikmah yang saya petik adalah: dai harus siap mengorbankan waktu, harta, dan jiwanya untuk berdakwah di jalan Allah. Dai harus dekat dengan masyarakat dan aktif mendakwahi mereka. Dai harus bisa menempatkan dirinya baik ketika ditolak maupun diterima. Dai harus bersabar dan yakin atas pertolongan Allah. Selama sebulan itu, banyak sekali pertolongan Allah yang tidak saya duga-duga. (Fahrur Mu’is, M.A)